Redefining Corporate (Social) Responsibility: The Indonesian Perspective
By Setyawati Fitrianggraeni, Sri Purnama, Fildza Nabila Avianti[1]
INTRODUCTION
Di dunia yang saling terhubung saat ini, peran Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (atau Corporate Social Responsibility, selanjutnya akan disebut ‘CSR’) dalam membentuk praktik bisnis sangatlah vital. Sebagai elemen penting dari etika bisnis kontemporer, CSR memungkinkan perusahaan untuk menyelaraskan operasional mereka dengan tujuan sosial dan lingkungan yang lebih luas.[2] Konvergensi aktivitas bisnis dengan kepedulian sosial yang lebih luas ini semakin dibentuk oleh meningkatnya pertimbangan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (atau Environmental, Social, dan Governance, selanjutnya akan disebut ‘ESG’), yang semakin banyak menginformasikan keputusan investasi dan strategi bisnis.
Di Indonesia, pemandangan unik untuk CSR telah muncul, terbentuk secara khas oleh konteks legislatif dan masyarakatnya.[3] Di antara bangsa-bangsa Asia, Indonesia berada di garis depan, memberlakukan kewajiban CSR untuk perusahaan yang terlibat dalam sumber daya alam sebagai bagian dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Namun, CSR dalam rezim UU PT hanya difokuskan pada perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam. Hal ini menjadikan beberapa ambiguitas, terutama mengenai kejelasan industri mana yang masuk dalam lingkup mandat ini.
Inti dari masalahnya bukan hanya tentang pembatasan CSR pada sektor yang terkait dengan sumber daya alam, namun tentang interpretasi pemerintah mengenai “sumber daya alam” itu sendiri.[4] Karena setiap industri, dengan cara yang satu atau lainnya, sejatinya bergantung pada sumber daya alam, terutama dalam rantai pasokan produk. Hal ini memicu pertanyaan: Apakah pemerintah menginterpretasikan “sumber daya alam” dalam arti konvensional, mencakup sektor yang umum diterima, seperti industri ekstraktif dan kelapa sawit, misalnya, atau dengan cara yang holistik? Dengan demikian, artikel ini berupaya untuk menjawab pertanyaan ini dengan memberikan pemahaman menyeluruh tentang sektor yang terkena dampak.
Mandat hukum yang tegas ini telah memicu beragam diskursus seputar peran perusahaan dalam berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, meskipun masih terdapat perdebatan mengenai implementasi dan ruang lingkupnya. Secara khusus, perlu diperhatikan apakah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terikat oleh kewajiban yang sama.[5] Oleh karena itu, kami bertujuan untuk menjelaskan pertanyaan ini dan menawarkan panduan konkret mengenai tanggung jawab UMKM dalam konteks CSR.
Ketika mendalami matriks CSR yang kompleks di Indonesia, semakin jelas bahwa terdapat kesenjangan yang signifikan dan hilangnya peluang.[6] Dengan fokus utama terbatas pada perusahaan sumber daya alam, kerangka CSR yang ada saat ini mengabaikan sebagian besar lanskap bisnis. Menyadari bahwa beberapa perusahaan sektor non-ekstraktif telah secara sukarela mengadopsi dan melaporkan praktik CSR sangatlah penting. Tren ini, yang didorong oleh konvensi internasional yang ketat atau meningkatnya tuntutan konsumen akan transparansi, memang menawarkan tanda-tanda menjanjikan mengenai komitmen yang lebih luas terhadap CSR. Namun demikian, perlu dicatat bahwa pelaporan CSR oleh perusahaan non-ekstraktif masih bersifat sukarela. Apakah praktik ini bisa dianggap cukup atau haruskah kewajiban pelaporan dan inisiatif CSR diarahkan lebih tinggi agar dapat berkontribusi lebih baik terhadap pembangunan berkelanjutan di Indonesia?
Dengan latar belakang tersebut, artikel ini, yang mengacu pada referensi kritis seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dan pasal-pasal terkait yang menggarisbawahi ambiguitas istilah “sumber daya alam”,[7] menganjurkan adanya definisi baru mengenai CSR yang memperluas cakupannya. kewajiban terhadap semua jenis usaha di Indonesia. Kami bertujuan untuk membangun argumen mengenai kewajiban CSR secara universal melalui eksplorasi mendalam terhadap lanskap CSR saat ini dan analisis kritis terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan melakukan hal ini, kita dapat menginspirasi sektor bisnis Indonesia yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan tangguh, serta tanggap terhadap kebutuhan planet kita dan masyarakat yang terus berkembang.
EVOLUSI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN DI INDONESIA
Asal usul CSR di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke penghujung abad ke-20 di tengah berkembangnya kesadaran global seputar pembangunan berkelanjutan dan praktik bisnis yang beretika.[8] Namun, CSR baru mulai diformalkan dalam kerangka hukum Indonesia pada awal abad ke-21.
Pada tahun 2007, disahkannya Undang-undang Perseroan Terbatas menandai momen penting dalam perjalanan CSR di Indonesia.[9] Undang-undang ini muncul sebagai titik balik, yang untuk pertama kalinya memasukkan prinsip CSR ke dalam sistem hukum Indonesia. Peraturan ini menetapkan kewajiban hukum bagi perusahaan-perusahaan di sektor sumber daya alam untuk mengalokasikan sebagian dari keuntungan mereka untuk kegiatan CSR, sehingga menjadi preseden terobosan di Indonesia dan di seluruh Asia.
Pasal 74[10] UU PT menguraikan parameter kewajiban CSR, yang mengamanatkan bahwa perusahaan di sektor sumber daya alam harus melaksanakan apa yang disebut Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL).[11] Mandat bagi TJSL muncul dari kesadaran akan potensi dampak lingkungan dan sosial yang signifikan dari aktivitas perusahaan sumber daya alam.
Penting untuk dicatat perbedaan antara TJSL dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).[12] Meskipun keduanya bertujuan untuk mengatasi dampak lingkungan, TJSL mencakup cakupan yang lebih luas, termasuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sebaliknya, kegiatan usaha yang mempunyai dampak signifikan terhadap lingkungan hidup harus mendapatkan AMDAL.[13] Selain itu, TJSL merupakan komponen yang melekat pada biaya operasional perusahaan, sehingga memperkuat integritasnya terhadap fungsi perusahaan, sementara AMDAL sering dipandang sebagai prosedur yang berdiri sendiri dan bagian dari sistem persetujuan lingkungan hidup secara keseluruhan di Indonesia.
TJSL diperjelas lebih lanjut dalam UUPT.[14] Hal ini dikonseptualisasikan sebagai perwujudan komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, yang meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan baik bagi perusahaan maupun masyarakat pada umumnya.[15] Penerapan TJSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) UUPT bersifat wajib dan wajib dimuat dalam laporan tahunan, sehingga memperkuat komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam praktik bisnis berkelanjutan.
Namun, mandat ini belum tentu diterjemahkan ke dalam praktik yang konsisten di semua perusahaan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) dan Moores Rowland Indonesia, hanya terdapat 16% perusahaan publik di Indonesia yang menerbitkan laporan keberlanjutan pada tahun 2020, termasuk pelaporan material seperti emisi GRK dan praktiknya dalam pengelolaan lingkungan hidup. menghormati hak asasi manusia.[16] Di sektor Real Estate, meskipun bersifat sukarela, hampir 9% perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menerbitkan laporan keberlanjutan.[17] Meskipun jumlah pelaporan keberlanjutan di Indonesia cenderung meningkat dan meningkat dari tahun ke tahun, jumlah sebenarnya menimbulkan pertanyaan tentang kepatuhan perusahaan publik terhadap kewajiban pelaporan CSR mereka.[18]
UU PT dan penjabaran konsep TJSL menggarisbawahi pendekatan legislatif progresif terhadap CSR. Namun demikian, seperti yang akan kita bahas, undang-undang inovatif ini, selain menandai langkah penting menuju formalisasi CSR di Indonesia, juga menghadirkan beberapa tantangan dan area yang perlu dikembangkan lebih lanjut.
ANALISIS PELAKSANAAN CSR DAN TJSL SAAT INI
Salah satu aspek penting yang membentuk implementasi CSR di Indonesia saat ini terletak pada keterbatasannya pada perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam. Berdasarkan UUPT, kewajiban TJSL secara eksklusif dibebankan pada sektor ini, sebagaimana dirinci dalam Pasal 74. Meskipun ketentuan ini mengakui dampak lingkungan dan sosial yang melekat pada industri sumber daya alam, ketentuan ini secara tidak sengaja mengecualikan sebagian besar lanskap bisnis Indonesia dari tanggung jawab CSR.[19]
Cakupan yang terbatas ini mempunyai implikasi terhadap integrasi CSR yang lebih luas ke dalam dunia usaha di Indonesia.[20] Kritikus berpendapat bahwa keterbatasan ini mengabaikan peran sektor lain dalam berkontribusi terhadap tantangan lingkungan dan sosial serta menawarkan solusi potensial.[21] TJSL hendaknya diterapkan secara universal kepada seluruh korporasi yang mempunyai sumber daya yang memadai. Bagaimanapun juga, kewajiban CSR dibiayai dari laba bersih setelah pajak, sehingga menunjukkan bahwa tanggung jawab terhadap keberlanjutan dapat ditanggung secara lebih luas.
Namun, pendekatan seperti ini memerlukan pertimbangan yang matang atas potensi pengecualian, khususnya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang mungkin kekurangan sumber daya untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap inisiatif CSR tanpa membahayakan kelangsungan usahanya. Pada bagian berikut, kami mengeksplorasi lebih jauh tema-tema tersebut dan menyarankan jalur-jalur potensial untuk meningkatkan inklusivitas dan dampak CSR di Indonesia.
CSR WAJIB SECARA UNIVERSAL
Ketika kita bergerak menuju masa depan perekonomian yang lebih ramah lingkungan dan inklusif, penataan ulang ruang lingkup dan sifat CSR kini tidak hanya mencakup perusahaan yang hanya berhubungan langsung dengan sumber daya alam saja. Bagaimanapun, setiap bisnis berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Jika perusahaan berkontribusi terhadap biaya sosial melalui kegiatan ekonomi, maka wajar saja jika mereka turut serta membayarkan kembali kepada masyarakat melalui program CSR.[22] Para kritikus berpendapat bahwa undang-undang yang berlaku saat ini mempersempit potensi luas dan dampak inisiatif CSR di Indonesia, sebuah kekhawatiran yang patut dikaji lebih dekat.
Di era meningkatnya tantangan lingkungan dan sosial, mulai dari perubahan iklim hingga ketimpangan pendapatan, gagasan CSR sebagai kewajiban universal bagi semua perusahaan, terlepas dari industri atau ukurannya, menjadi hal yang menarik.[23] Dengan memperluas mandat CSR, perusahaan-perusahaan di berbagai sektor akan termotivasi untuk mempertimbangkan dan mengatasi dampak lingkungan dan sosial dari operasi mereka. Pendekatan inklusif ini dapat memicu inovasi, merangsang pengembangan model bisnis berkelanjutan, dan menghasilkan keunggulan kompetitif.[24]
Selain itu, menjadikan CSR sebagai kewajiban secara universal akan sejalan dengan prinsip keadilan.[25] Mengingat semua dunia usaha mendapat manfaat dari beroperasi dalam konteks sosial dan ekonomi di Indonesia, maka wajar saja jika mereka berkontribusi dalam mengatasi tantangan-tantangan yang ada di negara ini. Pergeseran ini dapat secara signifikan meningkatkan sumber daya yang diarahkan pada perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat, sehingga meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan perekonomian dan masyarakat Indonesia.
Bahkan dengan argumen-argumen yang meyakinkan ini, menjadikan CSR sebagai suatu keharusan secara universal juga menimbulkan kekhawatiran yang sah. Salah satu permasalahan yang menonjol berkaitan dengan potensi beban yang ditimpakan pada UMKM[26] yang mungkin kekurangan sumber daya keuangan atau kapasitas kelembagaan untuk melaksanakan inisiatif CSR yang substantif. Pembebanan kewajiban keuangan tambahan, seperti kontribusi wajib CSR, dapat memperburuk tantangan mereka, dan berpotensi mengancam kelangsungan hidup mereka.
Pendekatan CSR yang lebih bernuansa dan adaptif dapat dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan ini. Misalnya, pemerintah dapat menerapkan skala geser untuk kontribusi CSR, dimana persentase laba bersih yang dialokasikan untuk CSR sebanding dengan ukuran atau margin keuntungan perusahaan. Pengecualian khusus atau mekanisme dukungan juga dapat dirancang bagi UMKM untuk memastikan partisipasi berkelanjutan dalam lanskap CSR di negara tersebut.
Selain itu, pemerintah dapat menjajaki insentif untuk mendorong keterlibatan sukarela CSR di kalangan UMKM, seperti skema pengakuan, program peningkatan kapasitas, atau memfasilitasi akses terhadap pendanaan bagi bisnis yang menunjukkan komitmen luar biasa terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pemerintah juga dapat mendorong kolaborasi antara perusahaan besar dan UMKM, mendorong transfer pengetahuan dan berbagi sumber daya untuk pelaksanaan CSR.[27]
Memperluas mandat CSR yang mencakup semua perusahaan, jika dilakukan dengan pendekatan yang seimbang antara aspirasi dan pragmatisme, dapat mendorong perekonomian Indonesia yang lebih inklusif, berketahanan, dan berkelanjutan. Seiring dengan langkah kita ke depan, pertimbangan, konsultasi, dan adaptasi yang cermat akan diperlukan untuk memastikan bahwa perubahan progresif dalam kebijakan CSR ini memberikan manfaat nyata dan jangka panjang bagi Indonesia dan beragam pemangku kepentingannya.[28]
PERLUNYA PERBAIKAN PERATURAN DAN PENEGAKAN
Inkonsistensi dan ketidakjelasan kerangka perundang-undangan CSR di Indonesia saat ini serta lemahnya penegakan hukum secara signifikan melemahkan efektivitas realisasi tujuan CSR. Ini adalah topik yang perlu mendapat perhatian mendesak.
Ketidakjelasan dalam UUPT, khususnya mengenai proporsi keuntungan yang akan didedikasikan untuk CSR dan aktivitas spesifik yang memenuhi syarat sebagai CSR, menciptakan banyak ruang untuk interpretasi.[29] Hal ini, pada gilirannya, dapat mengakibatkan terfragmentasinya lanskap CSR, dimana kontribusi CSR perusahaan sangat bervariasi dalam skala dan substansi. Peraturan yang seragam dan diartikulasikan dengan baik yang menetapkan kriteria kegiatan CSR dan persentase keuntungan yang akan dialokasikan akan meningkatkan kejelasan dan konsistensi pelaksanaan CSR di seluruh perusahaan di Indonesia.
Selain itu, penegakan peraturan CSR merupakan bidang lain yang memerlukan perbaikan signifikan. Mekanisme penegakan hukum yang berlaku bergantung pada variasi regional dan kurang kuat.[30] Misalnya, meskipun Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2013 mengatur sanksi mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin usaha jika tidak mematuhi CSR, peraturan daerah lainnya, seperti Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 15 Tahun 2011, tidak memberikan rincian yang tepat mengenai sifat sebenarnya dari sanksi tersebut. sanksi administratif.
Untuk mengatasi tantangan penegakan hukum ini, diperlukan pembentukan badan regulasi nasional yang mengawasi pelaksanaan dan penegakan CSR. Badan ini dapat memantau kontribusi CSR, memastikan kepatuhan terhadap peraturan, dan menjatuhkan sanksi atas ketidakpatuhan. Dengan menyederhanakan proses penegakan hukum, lembaga tersebut akan mendorong keadilan, transparansi, dan konsistensi dalam praktik CSR di seluruh Indonesia.
Selain itu, pemberlakuan peraturan yang lebih jelas dan komprehensif akan didukung secara signifikan oleh program pelatihan berkala bagi perusahaan.[31] Inisiatif-inisiatif seperti ini akan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan memahami inti dan isi undang-undang tersebut, sehingga mendorong kepatuhan yang lebih baik terhadap komitmen CSR.
Langkah-langkah ini – meningkatkan kejelasan dan konsistensi peraturan, memperkuat penegakan hukum, dan memberikan pelatihan komprehensif – dapat secara signifikan meningkatkan implementasi dan dampak CSR di Indonesia, sehingga meningkatkan tujuan keberlanjutan dan pembangunan negara yang lebih luas.
KESIMPULAN
Sebagai penutup, artikel ini telah menelusuri lanskap CSR yang rumit di Indonesia, menelusuri evolusinya, dan menilai penerapannya saat ini. Kami mendukung gerakan progresif menuju CSR yang diwajibkan secara universal, terlepas dari sektor atau ukuran perusahaan. Yang terpenting, perubahan penting ini dapat menjadi katalisator perjalanan Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan.
Potensi dampak perubahan ini sangat besar. Dengan memastikan semua perusahaan berkontribusi terhadap perbaikan masyarakat dan lingkungan, kita dapat menciptakan lingkungan bisnis yang kohesif dan kolaboratif yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan praktik berkelanjutan. Kami menyadari adanya kekhawatiran mengenai beban yang dihadapi usaha kecil dan menengah dan merekomendasikan untuk mempertimbangkan kemungkinan pengecualian bagi usaha-usaha tersebut.
Pada saat yang sama, kami telah menggarisbawahi perlunya perbaikan regulasi dan penegakan hukum. Inkonsistensi dan kesenjangan yang ada saat ini antara UUPT dan peraturan daerah menghambat efektivitas implementasi CSR. Pedoman yang lebih baik dan penegakan hukum yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan kepatuhan yang seragam dan komprehensif terhadap prinsip-prinsip CSR di seluruh Indonesia.
Selain itu, kami telah menganjurkan perluasan konsep CSR, yang sepenuhnya mencakup pelestarian warisan budaya, baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Hal ini merupakan sebuah langkah maju dalam mengakui peran korporasi dalam menjaga vitalitas sosio-kultural masyarakat, sehingga dapat memperkaya tatanan sosio-ekonomi Indonesia.
Berdasarkan diskusi-diskusi ini, tujuan kami tetap teguh: mendesak para pembuat kebijakan untuk mendefinisikan ulang dan memperluas cakupan CSR di Indonesia. Dengan melakukan hal ini, kita dapat memastikan bahwa dunia usaha berkontribusi secara efektif dalam menciptakan negara yang berkelanjutan, inklusif, dan dinamis secara budaya. Kami mengundang seluruh pemangku kepentingan – perusahaan, pembuat kebijakan, dan komunitas – untuk bergabung dengan kami dalam misi ini. Bersama-sama, kita dapat membentuk masa depan di mana ‘Planet, Manusia, dan Keuntungan’ bersatu menjadi sebuah sinergi yang kuat, yang mendorong Indonesia menuju masa depan yang berkelanjutan dan sejahtera.
REFERENCES
Journals
Anis Nur Nadhiroh, “Batas Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Corporate Social Responbility (CSR)’, (2020), 18(2), Era Hukum Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 43-72.
Bayu Tri Cahya, “Transformasi Konsep Corporate Social Resposibility (CSR)” (2014), 7(2), Iqtishadia, 203-222.
Dadek Nandemar and Amiruddin, “Corporate Social Responsibility (CSR) Berkeadilan Sosial” (2020), 2(2), Accounting Profession Journal (ApaJi), 56-71.
Hamdani, “Corporate Social Responsibility for Micro, Small, and Medium Enterprise as a Form of Economic Justice in Banten Province” (2017), 2(2), 1-10.
I Made Arjaya and others, “Deviation Concept of CSR Regulation in Indonesia” (2014), 23, Journal of Law, Policy and Globalization, 1-7.
Indra Prasetyo et.al., “Corporate Social Responsibility Practices in Islamic Studies in Indonesia” (2021), 4(1), Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues, 1-15.
Lilis Mulyani, “Pengelolaan Sumber Daya Alam di Mata Mahkamah Konstitusi: Analitis Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Alam” (2008), 10(2), Jurnal Masyarakat & Budaya, 65-87.
Muhammad Dahlan Moga, “The Obligation for Corporate Social Responsibility (CSR) Toward the Corporation Implicated Corruption” (2019), 3(2), Holrev, 1-15.
Nur Arifudin, “Corporate Social Responsibility (CSR) Under Perspective of Law Number 40 of 2007 Concerning on Limited Liabilities Company” (2008), 4(2), Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, 128-134.
Rabin Ibnu Zainal, “Analysis of CSR Legislation in Indonesia: Mandate to Business” (2019), 9(3), Macrothink Institute, 165-181.
Ratih Probosiwi, “Corporate Social Responsibility in Public Welfare Enhancement” (2016) 13(2), Socio Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 30-40.
Risna Trsinawati and others, “Implementasi Corporate Social Responsibility pada UMKM Percetakan dan Penerbitan Al-Qur’an Ma’sum Press” (2021), 2(2), Abdi Psikonomi, 116-123.
Sefriani and Sri Wartini, “Model Kebijakan Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia” (2017), 24(1), Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1-28.
Sheehy, B., “Defining CSR: Problems and Solutions.” (2015), 131, J. Bus. Ethics, 625–648.
Suparnyo and others, “Model Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (Umkm) Melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Industri Rokok Di Kudus” (2013), 6(2), Jurnal Sosial dan Budaya, 29-39.
Websites
BINUS University – School of Accounting, “The Evolution of Sustainability Reporting Practices in Indonesia’, (August 2022). <https://accounting.binus.ac.id/2022/08/31/the-evolution-of-sustainability-reporting-practices-in-indonesia/> accessed 24 August 2023.
Felisitas Anastasia, ‘Sustainability Report in Indonesia Real Estate Sector’, (November 2022). <https://www.sustainahaus.com/articles/sustainabilityreport> accessed 24 August 2023.
Foundation for International Human Rights Reporting Standards, ‘Studi Laporan Keberlanjutan Tahun 2020’, (2020). <https://drive.google.com/file/d/1dOEVmvnyXtRu83Og9loylEtEd9kmqzqm/view> accessed 24 August 2023.
Lord Tim Clement and others, “Corporate Social Responsibility – bottom-line issue or public relations exercise?” (2005) <http://www.untag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORPORATE%20SOCIAL%20RESPONSIBILITY%20Investing%20in%20Corporate%20Social%20Responsibility.pdf> accessed 31 August 2023.
Regulations
The 1945 Constitution Republic of Indonesia.
Law Number 40 of 2007 concerning on Limited Liabilities Company.
Law Number 32 of 2009 concerning on Environmental Protection and Management.
Government Regulation Number 47 of 2012 concerning Corporate Social Responsibility.
[1] Setyawati Fitrianggraeni holds the position of Managing Partner at Anggraeni and Partners in Indonesia. She also serves as an Assistant Professor at the Faculty of Law, University of Indonesia, and is currently pursuing a PhD at the World Maritime University in Malmo, Sweden. Additionally, Fildza Nabila Avianti is a Senior Research Associate in the Ocean-Climate Research Group and Sri Purnama is a Junior Legal Research Analyst at Anggraeni and Partners. The writers express their gratitude to Dr. Hary Elias for generously dedicating his time to provide valuable feedback on their article.
[2] Sheehy, B., “Defining CSR: Problems and Solutions.” (2015), 131, J. Bus. Ethics, 625–648.
[3] Rabin Ibnu Zainal, “Analysis of CSR Legislation in Indonesia: Mandate to Business” (2019), 9(3), Business and Economic Research, 165-181.
[4] Article 1 Number 9 Law Number 32 of 2009 concerning on Environmental Protection and Management states “Natural Resources is environmental elements consisting of biological and non-biological resources wholly forming a totality of ecosystem.”
[5] Hamdani, “Corporate Social Responsibility for Micro, Small, and Medium Enterprise as a Form of Economic Justice in Banten Province” (2017), 2(2), 1-10.
[6] Ratih Probosiwi, “Corporate Social Responsibility in Public Welfare Enhancement” (2016) 13(2), Socio Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 30-40.
[7] Natural resources are “the greatest prosperity of the people”, and the mechanism provided is through control and regulation by the state, it is implied on Article 33 of the 1945 Constitution Republic of Indonesia that contains the objectives and mechanisms for managing natural resources in Indonesia. See, Lilis Mulyani, “Pengelolaan Sumber Daya Alam di Mata Mahkamah Konstitusi: Analitis Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Alam” (2008), 10(2), Jurnal Masyarakat & Budaya, 65-87.
[8] Bayu Tri Cahya, “Transformasi Konsep Corporate Social Resposibility (CSR)” (2014), 7(2), Iqtishadia, 203-222.
[9] Indra Prasetyo et.al., “Corporate Social Responsibility Practices in Islamic Studies in Indonesia” (2021), 4(1), Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues, 1-15.
[10] Article 74 of Company Law states that, “(1) A Corporation that conducts its business activities in the field and/or related to natural resources is obliged to implement Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; (2) The Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan as referred to in paragraph (1) is an obligation of the Corporation that is budgeted and accounted for as a company expense, with its implementation carried out considering appropriateness and fairness; (3) Corporations that do not fulfil the obligation as referred to in paragraph (1) shall be subject to sanctions in accordance with the provisions of statutory regulations; (4) Further provisions regarding Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan are regulated by government regulation.”
[11] Article 1 number 3 of the Company Law states that, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan is a commitment of the Corporation to participate in sustainable economic development to improve the quality of life and the environment that is beneficial, both for the Corporation itself, the local community, and society in general.”
[12] Article 1 number 11 of the Environmental Law states that, “the Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, subsequently referred to as AMDAL, is a study on the significant impact of a business and/or activity planned on the environment, necessary for the decision-making process regarding the conduct of the business and/or activity.”
[13] Businesses and activities that have a significant impact on the environment are obligated to possess an AMDAL as mandated by Article 22 of the Environmental Law. Such significant impacts are determined by several criteria, including the size of the affected population, the scope of the impact, its intensity and duration, among others. Article 23 of the Environmental Law elaborates on the types of business and activities necessitating an Amdal, which include land alteration, natural resource exploitation, activities potentially causing pollution or environmental degradation, and high-risk activities that could influence national defence, to name a few. Additionally, introducing certain species, the application of particular technologies, and actions influencing conservation areas and cultural heritage sites also come under this mandate.
[14] See Article 74 of Company Law.
[15] Nur Arifudin, “Corporate Social Responsibility (CSR) Under Perspective of Law Number 40 of 2007 Concerning on Limited Liabilities Company” (2008), 4(2), Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, 128-134.
[16] Foundation for International Human Rights Reporting Standards, ‘Studi Laporan Keberlanjutan Tahun 2020’, (2020). https://drive.google.com/file/d/1dOEVmvnyXtRu83Og9loylEtEd9kmqzqm/view accessed 24 Aug 2023.
[17] Felisitas Anastasia, ‘Sustainability Report in Indonesia Real Estate Sector’, (November 2022). https://www.sustainahaus.com/articles/sustainabilityreport accessed 24 Aug 2023.
[18] BINUS University – School of Accounting, “The Evolution of Sustainability Reporting Practices in Indonesia’, (August 2022). https://accounting.binus.ac.id/2022/08/31/the-evolution-of-sustainability-reporting-practices-in-indonesia/ accessed 24 Aug 2023.
[19] I Made Arjaya and others, “Deviation Concept of CSR Regulation in Indonesia” (2014), 23, Journal of Law, Policy and Globalization, 1-7.
[20] Article 3 paragraph (1) of Government Regulation Number 47 of 2012 concerning Corporate Social Responsibility stated “The social and environmental responsibility as referred to in Article 2 becomes an obligation for the Company who exercises its business activities in the field and/or relating to natural resources under the Act”. See, Muhammad Dahlan Moga, “The Obligation for Corporate Social Responsibility (CSR) Toward the Corporation Implicated Corruption” (2019), 3(2), Holrev, 1-15.
[21] I Made Arjaya and others, loc.cit.
[22] Rabin Ibnu Zainal, Ibid.
[23] Lord Tim Clement and others, “Corporate Social Responsibility – bottom-line issue or public relations exercise?” (2005) <http://www.untag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORPORATE%20SOCIAL%20RESPONSIBILITY%20Investing%20in%20Corporate%20Social%20Responsibility.pdf> accessed 31 August 2023.
[24] Ibid.
[25] Dadek Nandemar and Amiruddin, “Corporate Social Responsibility (CSR) Berkeadilan Sosial” (2020), 2(2), Accounting Profession Journal (ApaJi), 56-71.
[26] MSMEs in implementing CSR are based on Law Number 40 off 2007, Government Regulation Number 47 of 2012, and Minister of Social Affairs Regulation Number 13 of 2012. See, Risna Trsinawati and others, “Implementasi Corporate Social Responsibility pada UMKM Percetakan dan Penerbitan Al-Qur’an Ma’sum Press” (2021), 2(2), Abdi Psikonomi, 116-123.
[27] Suparnyo and others, “Model Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (Umkm) Melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Industri Rokok Di Kudus” (2013), 6(2), Jurnal Sosial dan Budaya, 29-39.
[28] Rabin Ibnu Zainal, Ibid.
[29] This voluntary model is often referred to as the western model which refers to voluntary corporate actions and self-regulation. Until now there are still many experts and the public who are of the view that the working mechanism of CSR is based on volunteerism. See, Sefriani and Sri Wartini, “Model Kebijakan Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia” (2017), 24(1), Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 1-28.
[30] Anis Nur Nadhiroh, “Batas Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Corporate Social Responbility (CSR)’, (2020), 18(2), Era Hukum Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 43-72.
[31] Ibid.
DISCLAIMER :
This disclaimer applies to the publication of articles by Anggraeni and Partners. By accessing or reading any articles published by Anggraeni and Partners, you acknowledge and agree to the terms of this disclaimer:
No Legal Advice: The articles published by Anggraeni and Partners are for informational purposes only and do not constitute legal advice. The information provided in the articles is not intended to create an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The articles should not be relied upon as a substitute for seeking professional legal advice. For specific legal advice tailored to your individual circumstances, please consult a qualified attorney.
Accuracy and Completeness: Anggraeni and Partners strives to ensure the accuracy and completeness of the information presented in the articles. However, we do not warrant or guarantee the accuracy, currency, or completeness of the information. Laws and legal interpretations may vary, and the information in the articles may not be applicable to your jurisdiction or specific situation. Therefore, Anggraeni and Partners disclaims any liability for any errors or omissions in the articles.
No Endorsement: Any references or mentions of third-party organizations, products, services, or websites in the articles are for informational purposes only and do not constitute an endorsement or recommendation by Anggraeni and Partners. We do not assume responsibility for the accuracy, quality, or reliability of any third-party information or services mentioned in the articles.
No Liability: Anggraeni and Partners, its partners, attorneys, employees, or affiliates shall not be liable for any direct, indirect, incidental, consequential, or special damages arising out of or in connection with the use of the articles or reliance on any information contained therein. This includes, but is not limited to, loss of data, loss of profits, or damages resulting from the use or inability to use the articles.
No Attorney-Client Relationship: Reading or accessing the articles does not establish an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The information provided in the articles is general in nature and may not be applicable to your specific legal situation. Any communication with Anggraeni and Partners through the articles or any contact form on the website does not create an attorney-client relationship or establish confidentiality.
By accessing or reading the articles, you acknowledge that you have read, understood, and agreed to this disclaimer. If you do not agree with any part of this disclaimer, please refrain from accessing or reading the articles published by Anggraeni and Partners.
For further information, please contact:
WWW.AP-LAWSOLUTION.COM
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
S.F. Anggraeni
Managing Partner
Fildza Nabila Avianti
Senior Research Associate Ocean Maritime
Sri Purnama
Junior Legal Research Analyst
Research Group Transnational Litigation and Tort Law