Setyawati Fitrianggraeni, Deviana Bella, Irvena A Dewanto
Pemanfaatan Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (Al) telah meningkat pesat selama beberapa tahun terakhir. Menurut studi yang dilakukan oleh Goldman Sachs, secara global, 18% pekerjaan telah dapat diotomatisasi oleh Al, dan persentase yang lebih tinggi yaitu 44% untuk pekerjaan di bidang hukum, khususnya di Amerika Serikat. Kehadiran Al membawa berbagai manfaat terhadap proses penyelesaian sengketa, yaitu meningkatkan efisiensi dan kecepatan proses penyelesaian sengketa. Solomonic dan Lex Machina adalah beberapa contoh Al yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa. Solomonic adalah platform analitik litigasi berbasis di Inggris yang menawarkan peringatan personal tentang klaim baru, ringkasan kasus, dan prediksi hasil litigasi. Demikian pula, Lex Machina memberikan wawasan tentang riwayat sidang pihak lawan, sikap pengadilan, dan prediksi hasil berdasarkan strategi hukum. Meningkatnya keunggulan Al telah membuka jalan bagi potensi pemanfaatan Al sebagai arbitrator dalam proses arbitrase.
Saat ini, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif (“UU Arbitrase”) tidak memuat ketentuan apa pun mengenai arbitrator Al. Di tingkat internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (“Konvensi New York”) sebagaimana diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, tidak ada ketentuan yang saat ini melarang arbitrator Al. Selanjutnya, meskipun tidak ada peraturan khusus tentang arbitrator Al, Pedoman ClArb tentang Penggunaan Al dalam Arbitrase (2025) (“Pedoman CIArb”) memberikan panduan tentang pemanfaatan Al dan langkah-langkah mitigasi risiko dalam arbitrase. Poin 8.2 Pedoman ClArb memungkinkan arbitrator menggunakan Al untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi tetapi melarang pendelegasian pengambilan keputusan atau tugas yang dapat mempengaruhi keputusan prosedural atau substantif. Poin 8.4 menekankan bahwa arbitrator tetap bertanggung jawab penuh atas putusan, terlepas dari bantuan Al. Al dapat mendukung, tetapi tidak menggantikan, penilaian manusia dalam arbitrase. Mengingat kurangnya ketentuan tentang arbitrator Al, dampak terhadap keabsahan perjanjian arbitrase dan pelaksanaan putusan harus diperiksa lebih lanjut.
Pasal 1(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif menyatakan bahwa dasar arbitrase terletak pada perjanjian arbitrase yang dibuat antara pihak yang bersengketa. Sementara menurut Pasal 7-9, perjanjian arbitrase dapat disepakati sebelum atau setelah sengketa muncul. Umumnya, penunjukan arbitrator dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak. Selanjutnya, Pasal 13 (1) menyatakan bahwa dalam hal para pihak gagal mencapai konsensus mengenai penunjukan arbitrator atau dalam hal tidak adanya ketentuan yang dibuat mengenai penunjukan arbitrator, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbitrator atau majelis arbitrase.
Perjanjian arbitrase yang menunjuk arbitrator Al mungkin tidak sah menurut hukum Indonesia jika gagal memenuhi persyaratan Pasal 1320 KUH Perdata, dalam hal ini, syarat memiliki sebab yang diperbolehkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah penunjukan tersebut sesuai dengan standar hukum untuk perjanjian yang sah. Pasal 1 Angka 7 UU Arbitrase secara khusus mendefinisikan arbitrator sebagai seorang atau lebih, tidak termasuk entitas non-manusia. Pasal 12 ayat 1 UU Arbitrase selanjutnya menetapkan persyaratan untuk penunjukan atau pengangkatan arbitrator, antara lain, kapasitas hukum dan usia minimum 35 tahun. Ini adalah kualitas yang dapat diatribusikan kepada manusia. Selain itu, berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata dan peraturan terkait, hanya individu tertentu yang dapat secara sah membuat perjanjian.
Berkaitan dengan apakah Al merupakan subjek hukum, secara umum, Pasal 57 ayat (12) Undang-Undang Kecerdasan Buatan Uni Eropa 2024 menyatakan bahwa tanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan pada pihak ketiga terletak pada penyedia Al dan calon penyedia, bukan pada Al itu sendiri. Selanjutnya, di Indonesia, karena karakteristiknya dalam otomatisasi pemrosesan informasi, Al dapat dikategorikan sebagai Agen Elektronik, yaitu perangkat dari Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang. Dalam hal ini, orang mengacu pada perseorangan, warga negara Indonesia, warga negara asing, dan badan hukum. Definisi Al dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum ditanggung oleh penyelenggara sistem elektronik yang menyediakan layanan Al. [266] Setelah mempertimbangkan kurangnya kepastian mengenai status Al sebagai subjek hukum, menunjuknya sebagai arbitrator oleh karena itu dapat membuat perjanjian arbitrase tersebut batal demi hukum karena kurangnya sebab yang diperbolehkan. [266]
Penggunaan arbitrator Al dalam putusan arbitrase asing dapat menimbulkan masalah pelaksanaan berdasarkan Konvensi New York. Pasal V(1) memungkinkan penolakan pengakuan untuk cacat prosedural atau substantif, termasuk perjanjian arbitrase yang tidak sah. Jika penunjukan arbitrator Al membuat perjanjian tidak sah, pengakuan putusan dapat ditolak berdasarkan Pasal
(a). Selain itu, Pasal V(2) mengizinkan penolakan jika pokok persoalan tidak dapat diarbitrasekan menurut hukum setempat atau jika pelaksanaan akan melanggar kebijakan publik negara pelaksana, yang terakhir ini mungkin menjadi relevan ketika arbitrase Al dipertanyakan. Konsep kebijakan publik didefinisikan secara berbeda di setiap negara. Pasal 1 Angka 9 SEMA 3/2023 mendefinisikan kebijakan publik sebagai elemen fundamental sistem hukum, ekonomi, dan sosial budaya Indonesia. Jika suatu negara melarang arbitrator Al, putusan yang diberikan oleh Al dapat dianggap melanggar kebijakan publiknya. Pada akhirnya, pengadilan pelaksana menentukan apakah pelanggaran tersebut ada.
Sebagai kesimpulan, meskipun baik UU Arbitrase Indonesia maupun konvensi internasional tidak secara eksplisit melarang arbitrator Al, mereka juga tidak mengakuinya sebagai sah. Pedoman ClArb (2025) memungkinkan penggunaan Al hanya sebagai alat pendukung, dengan tanggung jawab penuh terletak pada arbitrator manusia. Hukum Indonesia mensyaratkan arbitrator harus manusia, membuat perjanjian yang menunjuk Al berpotensi tidak sah karena kurangnya sebab yang diperbolehkan. Demikian pula, putusan asing oleh arbitrator Al dapat menghadapi tantangan pelaksanaan berdasarkan Konvensi New York jika dianggap bertentangan dengan kebijakan publik. Secara keseluruhan, kemungkinan peran Al sebagai arbitrator dalam arbitrase yang mengikat tetap tidak pasti secara hukum dan memerlukan regulasi yang lebih jelas.
Daftar Pustaka
[1] Jan Hatzius and others, ‘Global Economic Analyst: The Potentially Large Effects of Artificial Intelligence on Economic Growth (Briggs/Kodnani)’ (2023) 6-7
https://www.gspublishing.com/content/research/en/reports/2023/03/27/d64e052b-d7be35fabd16.html.
[2] Agus and others, ‘The Use of Artificial Intelligence in Dispute Resolution Through Arbitration: The Potential and Challenges’ (2023) 29 SASI 570, 571.
[3] Janine Haesler and Tim Isler, ‘Navigating the Main Impacts of Artificial Intelligence in International Arbitration: Insights from the ICC YAAF Workshop’ (Kluwer Arbitration Blog, 2024)
[4] Sean Shih and Eric Chin-Ru Chang, ‘The Application of Al in Arbitration: How Far Away Are We from Al Arbitrators?’ (2024) 17 Contemporary Asia Arbitration Journal 69, 76.
[5] Zahrashafa P Mahardhika and Angga Priancha, ‘Pengaturan Hukum Artificial Intelligence Indonesia Saat Ini’ (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021)
[6] Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (“Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik”).
[7] Pasal 1 Angka 21 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
[8] Mahardhika and Priancha, ‘Pengaturan Hukum Artificial Intelligence Indonesia Saat Ini’.
[9] Subekti, Hukum Perjanjian (Intermasa 2005) 17-20.
[10] Shih and Chang, ‘The Application of Al in Arbitration’, 76.
For further information, please contact:
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
Anggraeni and Partners, an Indonesian law practice with a worldwide vision, provides comprehensive legal solutions using forward-thinking strategies. We help clients manage legal risk and resolve disputes on admiralty and maritime law, complicated energy and commercial issues, arbitration and litigation, tortious claims handling, and cyber tech law
S.F. Anggraeni
Managing Partner
fitri@ap-lawsolution.net