Subrogasi memberikan hak kepada penanggung, setelah membayar ganti rugi kepada pemilik kargo yang diasuransikan, untuk menuntut pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Dalam asuransi maritim, prinsip ini menjaga keadilan, mencegah pengayaan tanpa dasar, dan memastikan pembagian risiko yang lebih efisien. Bagi Indonesia, penguatan mekanisme dan praktik subrogasi merupakan langkah penting dalam mendukung visi Poros Maritim Dunia. Upaya ini akan membantu menempatkan Indonesia sebagai pusat yang andal dalam pengangkutan kargo, penyelesaian sengketa maritim, dan tata kelola perdagangan internasional.
Asuransi maritim merupakan elemen penting dalam perdagangan internasional, karena laut tetap menjadi jalur utama pengangkutan kargo. Di antara berbagai doktrin dalam asuransi maritim, subrogasi memegang peran sentral untuk memastikan bahwa penanggung dapat menuntut pihak ketiga yang bertanggung jawab setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung. Dengan mencegah pemulihan ganda dan memastikan distribusi kerugian yang adil, subrogasi menjaga stabilitas keuangan penanggung sekaligus mendukung integritas perdagangan global.
Dalam konteks Indonesia, pentingnya subrogasi harus dipahami sejalan dengan visi Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum/GMF), yaitu kebijakan maritim nasional yang bertujuan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat maritim strategis. Visi ini menekankan perlunya kerangka pelayaran dan asuransi yang kuat untuk mewujudkan perdagangan maritim yang aman, kompetitif, dan berkelanjutan. Penerapan subrogasi yang efektif turut memperkuat ekosistem tersebut. Pada tataran internasional, mekanisme subrogasi juga berfungsi menyelaraskan praktik nasional dengan standar asuransi kelautan global, yang banyak dipengaruhi oleh hukum Inggris, Aturan Hague-Visby, serta rezim arbitrase internasional.
Artikel ini menguraikan dasar hukum subrogasi dalam sistem hukum Indonesia, fondasi doktrinalnya, perbandingan dengan praktik internasional, serta relevansinya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Pembahasan ini menempatkan subrogasi dalam kerangka strategi maritim Indonesia yang lebih luas, serta menunjukkan bagaimana penguatan penegakan subrogasi dapat mendukung pencapaian visi Poros Maritim Dunia.
Subrogasi di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Pasal 284 KUHD menyatakan bahwa setelah penanggung membayar ganti rugi kepada tertanggung, hak-hak tertanggung terhadap pihak ketiga yang bertanggung jawab beralih kepada penanggung. Undang-Undang Perasuransian juga mewajibkan perusahaan asuransi untuk memberikan kepastian dan keadilan dalam penyelesaian klaim, yang secara tidak langsung memperkuat subrogasi sebagai mekanisme pemulihan yang adil.
Prinsip subrogasi berakar pada asas indemnitas. Prinsip ini memastikan bahwa tertanggung menerima kompensasi tanpa menimbulkan pengayaan yang tidak sah, sekaligus memberikan hak kepada penanggung untuk menuntut pihak ketiga yang menyebabkan kerugian. Meskipun banyak fondasi teorinya berasal dari common law, pengadilan Indonesia menerapkan pendekatan serupa dalam sengketa asuransi umum, termasuk perkara asuransi kendaraan bermotor. Salah satu putusan di Kabupaten Barito Selatan menegaskan bahwa hak subrogasi penanggung sah selama ganti rugi telah dibayarkan, sehingga memperkuat konsistensi doktrin di berbagai jenis asuransi.
Dalam asuransi kelautan, subrogasi biasanya timbul ketika penanggung, setelah memberikan ganti rugi kepada tertanggung, menuntut pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang. Contoh yang sering terjadi adalah klaim terhadap pengangkut di bawah konosemen akibat pelanggaran seperti penumpukan yang tidak tepat, keterlambatan, atau penyimpangan perjalanan. Walaupun Aturan Hague-Visby belum menjadi bagian dari hukum Indonesia, aturan tersebut tetap digunakan sebagai rujukan persuasif dalam standar pengangkutan internasional dan turut membentuk kerangka tanggung jawab pengangkut.
Subrogasi juga berlaku dalam situasi ketika tertanggung berperan sebagai pengangkut yang mengasuransikan barang miliknya atau barang yang diangkut dalam kapasitas ganda sebagai pengirim. Dalam kondisi seperti ini, penanggung dapat mengejar pemulihan dari pihak ketiga lain seperti operator pelabuhan, tenaga bongkar muat, atau subkontraktor, tergantung pada pembagian risiko dalam kontrak. Secara keseluruhan, subrogasi berfungsi setiap kali barang yang diasuransikan mengalami kerugian selama perjalanan, dan penanggung yang telah membayar ganti rugi berhak untuk menuntut pihak yang secara hukum bertanggung jawab.
Di Indonesia, polis asuransi pada umumnya memuat klausul mengenai hak subrogasi, dan hak tersebut mulai berlaku setelah penanggung membayarkan ganti rugi kepada tertanggung. Dalam beberapa kasus, proses ini disertai penerbitan Deklarasi Subrogasi sebagai pemberitahuan resmi kepada pihak ketiga bahwa penanggung telah mengambil alih hak-hak hukum tertanggung. Mahkamah Agung telah menegaskan pentingnya pemenuhan formalitas tersebut. Dalam Putusan Nomor 2821 K/Pdt/2014 (PT Asuransi Allianz Utama Indonesia melawan PT Mulia Borneo Mandiri), Mahkamah menyatakan bahwa hubungan hukum antara penanggung dan pihak ketiga baru timbul setelah Deklarasi Subrogasi diterbitkan, sehingga memberikan legitimasi bagi penanggung untuk mengajukan tuntutan. Putusan ini menunjukkan bahwa penerapan subrogasi di Indonesia mensyaratkan pembayaran ganti rugi terlebih dahulu, pengalihan hak secara formal, dan pengajuan tuntutan melalui mekanisme pengadilan atau arbitrase sesuai karakter sengketanya.
Isu penting yang muncul adalah apakah sengketa yang melibatkan penanggung yang memperoleh hak melalui subrogasi termasuk dalam ruang lingkup arbitrase. Pada umumnya, klausul arbitrase dalam dokumen pengangkutan seperti konosemen atau charter party tetap mengikat penanggung karena penanggung secara hukum menggantikan posisi tertanggung. Dalam konteks Indonesia, ketika terdapat wacana pembentukan panel ahli untuk menangani perkara asuransi kelautan, pengakuan terhadap subrogasi dalam yurisdiksi arbitrase menjadi hal yang strategis untuk meningkatkan kepercayaan pelaku usaha dan memperkuat efektivitas penyelesaian sengketa di sektor maritim.
Dengan menempatkan praktik subrogasi dalam kerangka hukum dan mekanisme arbitrase yang jelas, Indonesia tidak hanya membangun kepastian doktrinal, tetapi juga menyelaraskan praktik asuransi nasional dengan standar tata kelola perdagangan global. Hal ini mendukung upaya Indonesia untuk mewujudkan visi Poros Maritim Dunia, di mana kepastian hukum dijadikan salah satu keunggulan kompetitif dalam mendukung rantai pasok dan perdagangan internasional.
Penguatan penegakan subrogasi memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada penyelesaian sengketa semata. Praktik subrogasi yang efektif dapat menurunkan risiko sistemik dalam pasar asuransi, meningkatkan kepercayaan pemilik kargo terhadap proses klaim, serta mengurangi ketergantungan pada litigasi yang mahal dan memakan waktu. Dari sisi tata kelola, mekanisme ini selaras dengan instrumen kebijakan maritim nasional, termasuk Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 mengenai Kebijakan Kelautan Indonesia yang menekankan integrasi pengelolaan sektor maritim. Dengan peran Indonesia sebagai salah satu negara pelayaran tersibuk sebagaimana tercatat dalam profil maritim UNCTAD, konsolidasi subrogasi dalam kerangka yang siap mendukung proses arbitrase dapat meningkatkan kunjungan kapal, menurunkan biaya premi, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat perdagangan yang andal dan dapat diprediksi.
Subrogasi menunjukkan bagaimana hukum asuransi dan tata kelola maritim saling berkaitan dalam membentuk posisi Indonesia dalam perdagangan global. Seiring Indonesia mendorong agenda Poros Maritim Dunia, penguatan doktrin subrogasi dan pengintegrasiannya ke dalam kerangka arbitrase maritim yang terpercaya akan meningkatkan kepastian hukum, memperkuat kepercayaan investor, dan mendorong daya saing maritim nasional. Langkah ini menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai jalur persimpangan maritim strategis, tetapi juga sebagai jangkar kepastian hukum di tengah dinamika perdagangan global yang terus berkembang. (MRA)
Footnote
Referensi
For further information, please contact:
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
Anggraeni and Partners is a boutique Indonesian law firm with global foresight, trusted by multinationals for dispute resolution, pre-dispute advisory, and regulatory consulting in ocean-maritime, energy, technology, and trade. Discuss further with us at connect@ap-lawsolution.net.
S.F. Anggraeni
Managing Partner
Marcel Raharja
Associate


