Bisnis, Lingkungan, Dan Perspektif Hukum Tentang Perdagangan Karbon
By Setyawati Fitrianggraeni, Agnes Wulandari, Fajrin Muflihun,[1]
Perubahan iklim telah menjadi isu global terbesar yang mempengaruhi kelangsungan hidup planet kita[2]. Perubahan iklim dapat disebabkan salah satunya oleh pemanasan global.
Perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global ditandai diantaranya mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut. Di Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengemukakan bahwa telah terjadi perubahan klimatologis dalam kurung waktu sejak 2001 hingga 2019. Peneliti Pusris Iklim dan Atmosfer Erma Yulihastin menyampaikan, pada Januari 2023 European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) menyatakan pemanasan global diperkirakan mencapai 1,21oC. Dalam 30 tahun, pemanasan global ini dapat berlanjut hingga mencapai 1,5oC pada Maret 2023. Ia menjelaskan perubahan Iklim di Indonesia memiliki dampak dan efek yang berbeda di setiap wilayah di Indonesia.
Perubahan iklim, yang diakibatkan oleh pemanasan global, telah menjadi isu global utama saat ini. Salah satunya adalah diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Emisi GRK menyebabkan kondisi yang disebut sebagai efek rumah kaca, yang merupakan fenomena alamiah yang terjadi karena adanya gas-gas tertentu di atmosfer yang menangkap dan memerangkap panas matahari. Pada dasarnya efek rumah kaca merupakan hal yang dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar tetap hangat, namun apabila berlebihan maka kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu bumi dan menyebabkan pemanasan global.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengemukakan bahwa sektor peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan merupakan kontributor terbesar atas adanya GRK. Khusus untuk DKI Jakarta, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung, Retno Gumilang mengungkapkan bahwa terdapat 5 (lima) sektor penyumbang emisi GRK terbesar di DKI Jakarta, yakni transportasi sebesar 46% (empat puluh enam persen), pembangkit listrik 31% (tiga puluh satu persen), industri manufaktur 8% (delapan persen), emisi residensial atau limbah rumah tangga sebesar 6% (enam persen) dan limbah padat tempat pemrosesan akhir.
Dalam rangka mengatasi pemanasan global yang dipercepat oleh GRK, upaya untuk mengurangi emisi GRK menjadi krusial. Salah satu langkah-langkah yang ditempuh diantaranya mengadopsi energi terbarukan, meningkatkan efisiensi energi, mengubah pola pertanian, dan melakukan langkah-langkah lain untuk mengurangi dampak manusia terhadap atmosfer dan iklim bumi.
Untuk mengatasi masalah ini, negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, berusaha mencari solusi yang efektif dalam mengurangi emisi gas GRK[3]. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah perdagangan karbon, yang melibatkan pengaturan mekanisme pasar untuk mengurangi emisi GRK.
Pasar karbon dipandang sebagai salah satu solusi dalam rangka mengurangi emisi GRK bagi beberapa negara. Lebih dari dua pertiga negara berencana menggunakan pasar karbon untuk memenuhi Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions / NDCS) sebagaimana diatur dalam Paris Agreement. Negara-negara seperti Chile, Ghana, Yordania, Singapura dan Vanuatu sudah mengembangkan infrakstruktur yang canggih dan menyeluruh dalam rangka keterlibatan mereka di pasar karbon internasional.
Saat ini, regulasi terkait penerapan Carbon Trading di Indonesia termasuk dalam kerangka kerja undang-undang dan peraturan yang lebih luas mengenai perubahan iklim, lingkungan hidup, dan energi. Beberapa undang-undang dan peraturan yang relevan termasuk:
Undang-undang ini merupakan landasan hukum bagi upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran serta kerusakan lingkungan, termasuk pengurangan emisi GRK[4]. Undang-Undang ini menjadi dasar hukum untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup di Indonesia, termasuk upaya untuk mengurangi emisi GRK. Dalam pasal 65 ayat (3), undang-undang ini menyebutkan bahwa pengurangan emisi GRK dapat dilakukan melalui mekanisme pasar, seperti perdagangan karbon. Namun, undang-undang ini belum secara rinci mengatur tentang pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia.
Undang-undang ini menetapkan kerangka hukum untuk mengurangi emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, serta mengatur peran serta masyarakat dalam upaya tersebut.
Undang-undang ini mencakup pengelolaan energi berbasis terbarukan dan efisiensi energi, yang dapat mendukung upaya pengurangan emisi GRK[5]. Undang-Undang ini mengatur tentang pengelolaan energi secara berkelanjutan, dan dalam pasal 29 ayat (3), menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya energi harus memperhatikan dampak lingkungan dan harus berwawasan lingkungan. Penggunaan mekanisme perdagangan karbon dapat menjadi salah satu solusi untuk mencapai tujuan tersebut[6].
Peraturan ini mencakup pengendalian emisi dari berbagai sektor, termasuk industri, pertanian, dan transportasi.
Peraturan ini mengatur tentang pengendalian emisi dari berbagai sumber pencemar, termasuk industri dan transportasi. Meskipun tidak secara khusus menyebutkan tentang perdagangan karbon, peraturan ini relevan dalam upaya mengurangi emisi GRK sebagai bagian dari upaya pengendalian pencemaran udara.
Peraturan ini mengatur strategi pengendalian emisi GRK di Indonesia.
Peraturan ini merupakan implementasi dari Kesepakatan Paris mengenai perubahan iklim yang ditandatangani oleh Indonesia. Peraturan ini mencakup strategi pengendalian emisi GRK yang mencakup sektor industri, energi, dan lainnya. Namun, peraturan ini belum secara spesifik mengatur mengenai perdagangan karbon.
Penerapan Carbon Trading di Indonesia membutuhkan mekanisme yang tepat agar berjalan efektif dan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (“POJK 14/2023”). Beberapa langkah yang dapat diambil dalam menerapkan Carbon Trading di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pemerintah perlu menetapkan batas emisi GRK yang diizinkan untuk sektor-sektor tertentu. Cap emisi ini akan menjadi acuan bagi perusahaan atau entitas lain untuk mengatur dan mengurangi emisi mereka.
Pemerintah dapat mengalokasikan kuota karbon kepada perusahaan dan entitas yang emisinya berada di bawah cap emisi. Kuota ini dapat dijual kepada perusahaan lain yang melebihi batas emisi mereka.
Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan wadah dalam hal memfasilitasi perdagangan karbon melalui bursa karbon. Keseriusan Pemerintah Indonesia terlihat dari telah dibentuknya POJK 14/2023 yang baru saja diberlakukan. Bursa karbon dapat menjadi tempat di mana perusahaan dapat membeli dan menjual kredit karbon sesuai dengan kebutuhan mereka. Bursa Karbon sebagaimana di atur dalam POJK 14/2023 akan memiliki konsep yang sama dengan Bursa Efek sebagaimana yang memperdagangkan saham.
Praktik perdagangan karbon sudah mulai berjalan di beberapa negara diantaranya European Energy Exchange (EEX) di Jerman, CTX Global di Inggris, Xpansiv dan Intercontinental Exchange (ICE) di Amerika Serikat, MexiCO2 di Meksiko, Global Carbon Credit Exchange gCCEx di Hong Kong.
Dalam rangka memastikan keberhasilan Carbon Trading, diperlukan sistem pemantauan dan verifikasi yang andal untuk mengukur emisi GRK dengan akurat. Proses verifikasi ini penting agar perdagangan karbon dapat dilakukan secara transparan dan dapat dipercaya.
Regulasi dan hukum terkait Carbon Trading harus diperbarui dan ditingkatkan agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan terbaru. Pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah adanya penyalahgunaan dalam mekanisme perdagangan karbon.
Penerapan Carbon Trading dengan peraturan hukum yang tepat dapat memberikan berbagai manfaat bagi Indonesia, antara lain:
Dengan adanya insentif ekonomi untuk mengurangi emisi GRK, sektor-sektor ekonomi di Indonesia akan lebih termotivasi untuk beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan dan berkontribusi pada pengurangan emisi secara keseluruhan.
Melalui Carbon Trading, Indonesia dapat menghasilkan pendapatan tambahan dari penjualan kredit karbon. Pendapatan ini dapat dialokasikan untuk mendukung proyek-proyek lingkungan lainnya.
Dengan mengurangi emisi GRK, Indonesia akan berperan aktif dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan menjaga bumi agar tetap layak huni bagi generasi mendatang.
Penerapan Carbon Trading di Indonesia dengan peraturan hukum yang tepat akan menjadi langkah yang penting dalam mengurangi emisi GRK dan mengatasi perubahan iklim. Upaya ini membutuhkan kerjasama dan kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk mencapai tujuan pengurangan emisi yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Meskipun Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang relevan dengan upaya pengurangan emisi GRK, peraturan yang secara khusus mengatur perdagangan karbon masih terbatas atau belum eksplisit. Untuk mendorong perdagangan karbon yang efektif dan berkelanjutan di Indonesia, diperlukan kejelasan hukum dan regulasi yang lebih spesifik dan komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong partisipasi dari berbagai sektor, khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan harus merangkul berbagai sektor ekonomi, termasuk industri, pertanian, dan energi. Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang khusus Mengatur Perdagangan Karbon perlu diatur lebih rinci tentang perdagangan karbon, termasuk mekanisme, kuota, dan peran serta pihak-pihak terkait.
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait perdagangan karbon adalah sebagai berikut:
[1] Setyawati Fitrianggraeni holds the position of Managing Partner at Anggraeni and Partners in Indonesia. She also serves as an Assistant Professor at the Faculty of Law, University of Indonesia, and currently pursuing a PhD at the World Maritime University in Malmo, Sweden. Additionally, Agnes Wulandari is a Middle Associate in Advisory and Commercial Transaction. The writers express their gratitude to Dr. Hary Elias for generously dedicating his time to provide valuable feedback on their article.
[2] Upaya Penurunan Gas Rumah Kaca Melalui Langkah Strategis pada Sektor Kritikal Perubahan Iklim – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia
[3] Ibid
[4] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[5] Undang-undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi – Beranda (bpdp.or.id)
[6] Ibid
DISCLAIMER :
This disclaimer applies to the publication of articles by Anggraeni and Partners. By accessing or reading any articles published by Anggraeni and Partners, you acknowledge and agree to the terms of this disclaimer:
No Legal Advice: The articles published by Anggraeni and Partners are for informational purposes only and do not constitute legal advice. The information provided in the articles is not intended to create an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The articles should not be relied upon as a substitute for seeking professional legal advice. For specific legal advice tailored to your individual circumstances, please consult a qualified attorney.
Accuracy and Completeness: Anggraeni and Partners strives to ensure the accuracy and completeness of the information presented in the articles. However, we do not warrant or guarantee the accuracy, currency, or completeness of the information. Laws and legal interpretations may vary, and the information in the articles may not be applicable to your jurisdiction or specific situation. Therefore, Anggraeni and Partners disclaims any liability for any errors or omissions in the articles.
No Endorsement: Any references or mentions of third-party organizations, products, services, or websites in the articles are for informational purposes only and do not constitute an endorsement or recommendation by Anggraeni and Partners. We do not assume responsibility for the accuracy, quality, or reliability of any third-party information or services mentioned in the articles.
No Liability: Anggraeni and Partners, its partners, attorneys, employees, or affiliates shall not be liable for any direct, indirect, incidental, consequential, or special damages arising out of or in connection with the use of the articles or reliance on any information contained therein. This includes, but is not limited to, loss of data, loss of profits, or damages resulting from the use or inability to use the articles.
No Attorney-Client Relationship: Reading or accessing the articles does not establish an attorney-client relationship between Anggraeni and Partners and the reader. The information provided in the articles is general in nature and may not be applicable to your specific legal situation. Any communication with Anggraeni and Partners through the articles or any contact form on the website does not create an attorney-client relationship or establish confidentiality.
By accessing or reading the articles, you acknowledge that you have read, understood, and agreed to this disclaimer. If you do not agree with any part of this disclaimer, please refrain from accessing or reading the articles published by Anggraeni and Partners.
For further information, please contact:
WWW.AP-LAWSOLUTION.COM
P: 6221. 7278 7678, 72795001
H: +62 811 8800 427
S.F. Anggraeni
Managing Partner
Agnes Wulandari
Middle Associate in Advisory and Commercial Transaction